Tuesday, April 19, 2011

I don't have a TV set. It's not worthed...

Jadi gini... Kebanyakan dari kita sudah addicted to a magic box yang bernama Televisi. Kita bahkan memuja that God-forsaken thing hanya karena berpendapat bahwa TV adalah sumber hiburan. Kita juga bahkan berpendapat bahwa televisi itu informatif dan mendidik.

Memang harus diakui, sejak dijual pada tahun 1930-an, televisi telah menjadi fenomena tersendiri. Kemunculannya seakan menjadi katalis bagi produk entertainment yang membutuhkan televisi, lain seperti :
  • Player cakram padat, yang beranggotakan Laser Disc (masih inget kan? yang piringannya segede Gaban), VCD, DVD, dan yang terbaru, Blu-Ray.
  • Konsol Game, yang diisi produsen seperti Nintendo, Sony Playstation dan X-Box
Stasiun televisi lokal maupun nasional, utamanya di Indonesia, juga tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Mereka berlomba-lomba untuk menayangkan acara yang supposedly entertaining viewer-nya.

Dulu, waktu masih ada parabola yang bisa nangkep siaran luar negeri, saya sangat mendewakan televisi. Saya bisa nonton CNN, CNBC Asia, TV3, RTM dan MTV Asia. Tentu saja saya juga tidak melupakan kenangan bersama beberapa stasiun televisi lokal seperti RCTI dan SCTV. Saya masih mengidolakan Dana Iswara dan Desy Anwar lho... Itu adalah masa TV yang paling indah buat saya. No offense, tapi waktu itu, apapun yang bukan TVRI adalah indah.

Sekarang semuanya sangat berbeda. Televisi menjadi perpanjangan tangan para kapitalis. Saya males nonton TV karena, maaf.. tapi saya merasa makin bodoh jika harus nonton siaran TV lokal. Saya tidak mengerti dimana letak hiburan dari tontonan yang menyajikan tangisan bombay, perebutan harta, dan make-up berlebihan dari mbak/mas yang berakting dalam cerita yang tiada akhirnya. Eksploitasi habis-habisan atas suka dan duka manusia yang ditahbiskan menjadi 'selebriti', bombardir berita kegagalan dan keberhasilan bidang poleksosbudhankam yang mengadu domba antara pemerintah dan segelintir pihak swasta, serta reality show yang tidak real aren't my cup of coffee of self amusement.

Mungkin ini klise, tapi saya prefer mencari hiburan di tempat lain seperti internet, dimana saya yang berkuasa untuk bisa memilih informasi yang ingin saya dapatkan, daripada harus stuck in front of television yang meskipun terlihat memiliki acara beragam, mereka semua punya benang merah yang sama. To keep most of you entertain in a shallow topic. 

Apakah ini artinya saya akan selibat dengan TV? Tentu saja tidak. Hanya saja, saya tidak melihat urgensi memiliki TV dalam hidup saya selama TV lokal dan nasional masih menyajikan hal yang tidak mencerdaskan saya. Saat ini, saya prefer nonton iklan dari pada nonton acara TV.  Iklan sekarang jauuuuh lebih menarik dan menghibur daripada dulu. Saya salut sekali!

IMHO, perbanyaklah acara konser musik berkualitas macam Erwin Gutawa Orchestra, atau kemaslah informasi pengetahuan dengan apik seperti yang dilakukan BBC Knowledge dan NatGeo. Kurangilah acara ngga penting yang pesertanya harus rela dicium waria jika salah menjawab pertanyaan dari host, juga buatlah skenario sinetron berkualitas yang jumlah episodenya ngga sampai ratusan. Cukup belasan dengan jadwal tayang yang tidak setiap hari. Lagipula, dengan tidak kejar tayang, saya yakin mbak/mas yang cantik dan ganteng itu bisa lebih fokus dan berkualitas dalam akting.

Jika skenario berkualitas digabung dengan mbak/mas yang berkualitas, maka saya yakin sinetron Indonesia bisa bersaing dengan sinetron dari Negeri Ginseng. Kita punya apa yang mereka punya, dan kita bahkan punya apa yang mereka ngga punya.

Ayo! perbaiki kualitas tayangan stasiun TV lokal dan nasional, sehingga tergerak hati saya untuk membeli TV set dengan antena UHF. Jangan mau kalah dengan Advertising Company Indonesia yang sudah berhasil membuat iklan-iklan yang sangat menawan hati. Sudah saatnya Indonesia memiliki stasiun televisi yang menayangkan program-program berkualitas yang disisipi oleh iklan-iklan nasional yang telah berkualitas seperti sekarang.

image source : images.google.co.id

No comments: