Privacy is the ability of an individual or group to seclude themselves or information about themselves and thereby reveal themselves selectively.
Saya mendefinisikan kehidupan pribadi saya, keluarga dan agama sebagai topik yang masuk ranah privasi. Saya paling males kalo harus bersinggungan dengan orang yang ingin tau tentang ketiga hal diatas. Saya mempunyai cara pandang yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, dan karena itulah, saya banyak ngga cocoknya kalo ngomongin masalah tersebut dengan sembarang orang,
Saya mendefinisikan diri saya sebagai orang yang enak diajak ngobrol (kalo mood, trus yang diajak ngobrol ngga reseh). Topik obrolan pun bisa sangat bervariasi. Saya mempunyai pengetahuan umum yang cukup untuk diajak ngobrol oleh beberapa orang dari tingkatan umur dan gender yang berbeda. Definisi pengetahuan umum tersebut adalah olahraga, musik bahkan politik. Mostly apapun yang sedang currently happening, saya tahu lah…
Tapi jangan tanyakan hal masa lalu macam nama teman-teman sekolah ato kuliah. Saya pasti ngga bakal tau. Mungkin ini sikap yang salah, tapi selama mereka dulu ngga berinteraksi secara intens dengan saya, they’re not worthed to be remembered. Toh mereka juga ngga bakal inget sama saya. So why bother?
Saya bukanlah orang yang bisa dengan gampang bersosialisasi. Dengan demikian, bisa disimpulkan saya ngga punya banyak teman. Dari sedikit teman yang saya miliki, hanya sebagian kecil yang saya percayai untuk mengetahui cerita tentang kehidupan pribadi saya. Orang-orang yang mengetahui kehidupan pribadi saya berarti adalah orang-orang yang saya percaya. I’m quite picky with them. Saking picky-nya saya dengan teman, bahkan ada beberapa cerita yang hanya saya dan Tuhan yang tau, because I know that God doesn’t kiss and tell. Tapi karena sebuah kejadian beberapa waktu lalu, membuat saya mempertanyakan definisi privasi.
Adik saya punya pasangan yang kemungkinan besar akan menjadi adik ipar saya. Kemudian seorang teman bertanya pada saya, “Bapaknya kerja apa?” dan jawaban saya “Ngga tau..”
Teman saya tadi kemudian memberikan ekspresi (yang kalo saya terjemahkan)“Heh?!? Maksudmu???”. Saat itu saya merasa, apakah saya memang harus tau sejauh itu? Argumen yang diberikan oleh teman saya tadi adalah dia adalah calon adik ipar saya, thus, bagian dari keluarga saya. Jadi, saya harus tau setidaknya tentang latar belakang orang yang akan menjadi bagian dari keluarga saya. Dan anehnya, saya mengganggap argumen itu sangat masuk akal.
Seperti mendapatkan pencerahan, it kinda struck me me questions like “Do I really know my inner circle?”. Apakah saya benar-benar mengenal orang-orang yang ada di sekitar saya? Apakah saya mengenal adik-adik dan orang tua saya? Apakah saya mengenal teman-teman yang saya percaya? Rasa bersalah kemudian muncul dengan sendirinya. Saya merasa saya hanya meminta mereka untuk mendengarkan keluh kesah saya, tanpa sedikitpun meluangkan waktu untuk mendengar sedikit cerita tentang kehidupan pribadi mereka.
Something has got to change! Saya harus berubah. Saya harus mempelajari kembali konsep dasar take and give dalam berinteraksi dengan orang-orang terdekat saya. They are worthed to be remembered. They are worthed to be listened. I should know things about them, anda not only let them know about me. It’s such a selfish and harsh way to interact with people that I called friends.
I will start to let my personal life flows. If my parents and siblings want to know about my friends then just let it be. I’ll tell them any information they needed. They must know about which friends I hung out with, which guy I’m seeing or which friends I dislike. I will not let my mom looking out from our second-floor porch just to know which friend I go out with. She just need ask and I’ll tell her. She just need to meet them and I’ll introduce them to her.
No comments:
Post a Comment