Tulisan saya kali ini terinspirasi oleh kejadian 2 hari yang lalu…
Let me tell you few things about me that most of my friends would already knew. First, I don’t have a lot of friends since I don’t make friends easily. Second, I’m good at being sarcastic. Those sarcastic words just flow like water from my mouth. That’s why I don’t talk much, because I know my words might hurt the people I talked to. And third, I don’t like kids and kids don’t like me in return. The motherhood just hasn’t grew in me (yet).
My main writing is about the last point of the above.
Hari minggu (03.06.2012) yang lalu, saya dan keluarga saya (kedua orang tua, dan adik-adik saya) menghabiskan weekend diluar rumah. Kebetulan saya ada perlu dengan Endah, salah seorang dari sedikit teman saya. Saya harus menemuinya. Untuk itu, saya diantar ke rumah Endah.
Posisi kami di mobil adalah : Kiki, adik laki-laki saya ada dibelakang kemudi. Voni, adik perempuan saya, duduk di kursi penumpang depan. Saya, duduk dibelakang kursi sopir, dan kedua orang tua saya ada disebelah saya.
Sekitar pukul 7 malam, saya masuk ke kompleks perumahan Endah. Kebetulan lagi, Endah sedang berada di luar pagar untuk mengantar tamunya pulang. Endah sedang bersama Darren, anaknya. Perlu saya jelaskan, Darren adalah anak laki-laki berusia sekitar 2,5 tahun. Dia pernah ke rumah saya ketika dia berumur hampir 2 tahun.
Mobil yang kami tumpangi merapat ke depan rumah Endah. Karena letak rumahnya ada di kiri jalan, maka yang pertama kali dilihat Darren adalah Voni. Ekspresinya? Ceria. Melompat-lompat sambil tertawa layaknya anak seusianya. Normal…
Setelah mobil berhenti, saya keluar dari pintu belakang sebelah kanan. Darren? Histeris, sodara-sodara! Lari kedalam rumah sambil teriak histeris, dan ngga perduli dengan Endah yang manggil namanya. Itu tidak normal…
Saya hanya berbincang sebentar dengan Endah, dan kemudian kami berpamitan. Topik bahasan kami di mobil? Bisa diduga.. “Darren kenapa?”
Saya : “Darren opo o seh? Kok moro-moro mlebu?” (Darren kenapa ya? Kok tiba-tiba masuk rumah)
Voni : “Yo ndelok sampeyan!” (Ya karena liat Kakak)
Saya : “Lho?? De e ketok aku a?” (Dia ngeliat aku?)
Semua : “Ketok!!” (Liaaaatt!!)
Dan kemudian mereka menertawakan saya lagi… *hedeeeh*
Di tengah perbincangan kami, BBM Endah masuk, and I quote :
“Anakku singitan nde isore mejo makan mbe membik2, ngga gelem metu” (Anakku sembunyi dibawah meja makan sambil hampir nangis , ngga mo keluar)
“Mana tante Oni, Eyen ngga mau ama tante Opi”
Karena kejadian itu, saya jadi berpikir (lagi) tentang “Apakah memang wajah saya sejudes itu?”. Maksud saya, Iya saya tahu muka saya judes, tapi saya sudah berusaha untuk tampak ramah pada setiap orang. Sepertinya masih harus banyak berlatih di depan cermin.
Benar kata orang, bahwa anak kecil perasaannya sangat sensitif. Mereka tau dan bisa membedakan siapa orang yang trully friendly dengan yang trying to be friendly for they aren’t friendly inside, like myself ini.
If I ever destined to be married and become a mother, I really wonder what my child would be like. Am I going to be a good mother? NO! I’m going to be a great one! Mungkin anak saya nantinya akan kaku dan tidak mudah bergaul seperti saya, atau bisa jadi dia introvert dan berlidah tajam. But hey, I still have plenty of time to correct mself before I am ready to nurture dan shape my child to be what me and my sicnificant other’s wanted.
No comments:
Post a Comment