Hari minggu kemarin, saya ada hajatan keluarga. Keluarga calon adik ipar saya, bertamu ke rumah orang tua saya. Karena kejadian tersebut, saya kemudian menyimpulkan the older they get, the more nggupuhi they become. Nggupuhi adalah istilah dari bahasa Jawa, yang kalo saya Indonesiakan kira-kira menjadi “suatu keadaan dimana seseorang merasa panik dan tanpa sadar membuat orang lain menjadi panik.”
Nggupuhi, menurut saya, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Bapak, Ibu dan Nenek saya kemarin. Saya sebenarnya sangat maklum, mengingat kunjungan keluarga calon besan adalah yang pertama kali mereka alami. Since I’m too stubborn to agree to get married at an early age, they finally gave up and put the “responsibility” to my younger brother, dan adik saya sepertinya tidak keberatan.
Kegupuhan itu dimulai dari pagi hari. Sekitar jam 8.30, Ibu menelepon untuk meminta saya membawa beras dari rumah saya. Beliau juga menolak untuk saya belikan beras dengan alasan keterbatasan waktu. Meskipun buat saya agak ngga masuk akal, saya tetap setuju untuk membawa semua beras yang saya punya di rumah.
Wadah beras dan tas sudah masuk ke mobil, pagar sudah dibuka, mobil sudah dipanasi, tinggal mundurkan mobil dari carport, kemudian gantian Bapak yang menghubungi saya.
“Kamu ndek mana? “ (Kamu dimana? – red)
“Ndek rumah, mau berangkat kesana..”
“Wis jam piro ini??” (sudah jam berapa ini? - red)
“Iya, ini wes manasi mobil, tinggal berangkat.” (ini sudah manasin mobil - red)
“Yo wes lek gitu” (Ya sudah kalo begitu - red)
*saya hanya bisa menarik napas panjang*
Sepanjang perjalanan dari Bunul ke Blimbing, saya menenangkan emosi dengan pikiran “Ndak papa.. Ini masih perdana. Mereka panik dan jangan sampai saya ikutan panik. Dituruti aja apa maunya.”. Hari sebelumnya, saya memang berjanji pada Bapak saya untuk datang pagi dan membantu mereka beli suguhan untuk tamu. Tapi definisi saya tentang pagi adalah pagi dimana toko jajanan sudah mulai beroperasi.
Saya tiba di rumah orang tua sekitar jam 9 pagi. Kandang kucing dan para kucing tidak terlihat sama sekali di lantai bawah. Bersih! Semua pindah ke lantai atas. Kasihan mereka... Wadah beras yang saya bawa, saya berikan ke Ibu dan Nenek saya, dan saya bertanya
“Sampeyan ngga duwe beras a?” (Mama ngga punya beras? - red)
“Ojo sampe ndek kene kentekan beras. Iki lho onok 10kg durung tak bukak” (Jangan sampe disini kehabisan beras. Ini lho ada 10kg belum saya buka - red)
*Saya menarik napas panjang lagi dan menanyakan -mengapa harus saya bawa beras kalo disini sudah ada beras- pada diri sendiri *
Saya bertanggungjawab untuk membeli makan siang dan jajanan untuk disuguhkan. Untuk meredakan kepanikan tentang makanan, saya memberitahu nama toko/depot dan makanan yang akan saya beli pada orang tua, serta urutan toko/depot yang akan saya datangi. Tidak lama kemudian, saya berangkat pergi beli makanan ditemani adik perempuan saya, yang ternyata sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah akibat kegupuhan yang ada. Kami mengajak Nenek agar jumlah orang panik berkurang.
Alhamdulillah, toko jajanan dan depot yang kami tuju sudah buka. Makanan yang dibutuhkan sudah didapatkan, kami pun kembali ke rumah. Diluar kepanikan yang terjadi di pagi hari, acara kecil kami berlangsung lancar. Tamu pulang sekitar pukul 3 sore dan saya pun bisa melanjutkan tidur.
Semoga untuk kunjungan calon besan yang kedua dan (mungkin) ketiga tidak berlangsung se-gupuh ini. Saya pribadi harus berterimakasih pada adik saya karena bisa dan mau mengambil tanggung jawab mencarikan besan untuk orang tua dari pundak saya. Terima kasih karena mau bertoleransi atas kekeraskepalaan saya dalam memegang prinsip hidup. Terima kasih karena mau mengerti bahwa saya masih belum bisa mengalah dalam hal ini.
Semoga acara pernikahan adik laki-laki saya berlangsung lancar tanpa gangguan apapun. Amiiiinn..
No comments:
Post a Comment